
Gambar 1. Pra-acara Konvensi & Pameran Geothermal Internasional Indonesia 2019: Sarapan Meja Bundar Eksekutif Strategis
Asosiasi Panas Bumi Indonesia (INAGA-API) akan menyelenggarakan Konvensi & Pameran Panas Bumi Internasional Indonesia (IIGCE) ke-7 tahun 2019 dari tanggal 13 – 15 Agustus 2019. IIGCE 2019 merupakan forum bisnis dan teknis internasional tahunan yang bertujuan untuk memajukan pengembangan energi panas bumi di Indonesia. Tema acara tahun ini adalah “Mewujudkan Energi Panas Bumi Masa Kini.” Salah satu acara pra-acaranya adalah “Sarapan Meja Bundar Eksekutif Strategis” pada tanggal 30 April 2019 di hotel Fairmont. Peserta berasal dari pemerintah Indonesia dan organisasi serta perusahaan terkait, termasuk Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) yang diwakili oleh salah satu Dewan Penasihat kami, Luky Yusgiantoro, B.Sc., M.Sc., Ph.D.
Pertemuan diawali dengan pernyataan dari moderator mengenai posisi Indonesia sebagai negara panas bumi kedua di dunia, dengan sekitar 2000 MW listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga panas bumi. Namun, moderator juga menekankan tentang perkembangannya yang lambat dengan hanya penambahan 100 MW setiap tahun sejak 1980.
Pentingnya pengembangan energi panas bumi di Indonesia tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan energi tetapi juga untuk mencapai komitmen kita pada Perjanjian Paris. Berdasarkan Perjanjian Paris yang ditandatangani pada tahun 2016, Indonesia menyatakan bahwa kita dapat mengurangi 26% emisi gas rumah kaca kita (setara 314 Juta Metrik Ton CO2) secara mandiri dan bahkan lebih tinggi dengan bantuan dunia, mencapai 41% (setara 398 Juta Metrik Ton CO2).
Selain itu, target bauran energi Indonesia adalah 23% energi terbarukan pada tahun 2025. Namun, target tersebut tampaknya sulit dicapai. Dewan Energi Nasional (DEN) menetapkan target dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 7-8%, tetapi pada kenyataannya, hanya 5%. Kemudian, diperlukan penataan ulang untuk menyesuaikan porsi energi terbarukan dalam target bauran energi pada tahun 2025 dan meningkatkan upaya pengembangan energi terbarukan.
Bapak Luky Yusgiantoro mengidentifikasi bahwa tidak adanya energi terbarukan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP Nasional) dan Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional (RPJMN) mungkin menjadi akar permasalahannya. Beliau merekomendasikan untuk menjadikan isu ini sebagai prioritas dan berharap pemerintahan baru akan memasukkan energi terbarukan dalam RPJMN berikutnya. Bapak Luky juga menyarankan untuk mengoptimalkan dana panas bumi dan mengalokasikan sebagian dana minyak bumi untuk energi terbarukan guna mengurangi risiko dalam investasi panas bumi.
Di sisi pembeli, Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengakui bahwa mereka tidak memiliki banyak daya untuk mendukung target energi terbarukan dalam bauran energi karena prioritas mereka adalah menggunakan sumber dengan biaya paling rendah, yaitu pembangkit listrik berbasis batu bara. Namun, mereka mendukung pengembangan panas bumi, karena Biaya Energi Terratakan (LCOE) akan menurun seiring waktu dan panas bumi merupakan salah satu dari dua pembangkit listrik paling andal di Indonesia selain hidro. Ia memiliki faktor kapasitas yang tinggi (sekitar 95%), dapat beroperasi setiap hari, dan tidak memerlukan daya cadangan, tidak seperti yang terputus-putus (angin dan matahari). Oleh karena itu, investasi pada pembangkit listrik tenaga panas bumi lebih menarik dari segi ekonomi.
Secara keseluruhan, untuk memastikan kelancaran transisi energi dan mendukung ketahanan dan kedaulatan energi, dukungan pemerintah dalam kebijakan harga dan model subsidi sangat dibutuhkan. Produsen Listrik Independen (IPP) juga perlu berkomitmen untuk melakukan operasi yang hemat biaya, sehingga listrik tenaga panas bumi menjadi lebih terjangkau.