By: Muhammad Salman Hakim, Vivi Fitriyanti
Kebakaran besar yang melanda tempat pembuangan sampah akhir (TPA) Sarimukti, Kabupaten Bandung Barat, merupakan puncak gunung es dari masalah pengelolaan sampah organik di Indonesia.
Gunungan sampah di TPA Sarimukti terbakar sejak 19 Agustus lalu, diduga akibat puntung rokok dan gas metana dari sampah yang menumpuk. Saat ini, volume sampah di TPA Sarimukti sudah tujuh kali lebih besar dari kapasitas seharusnya.
Masalah lainnya terjadi di TPA Piyungan, Yogyakarta, yang tutup sementara akibat kelebihan kapasitas. Begitu juga di TPA Cipayung di Depok, Jawa Barat.
Upaya pengurangan sampah di kota-kota besar sangat mendesak–apalagi sampah dapur yang porsinya paling besar.
Kami menganggap Indonesia seharusnya menempuh langkah strategis memanfaatkan sampah dapur menjadi menjadi biogas, yaitu energi gas ramah lingkungan yang dihasilkan dari limbah organik.
Tak perlu muluk-muluk membangun fasilitas biogas berskala besar. Pemerintah daerah hanya perlu menyiapkan fasilitas pengolahan sampah organik menjadi biogas di tingkat kelurahan atau desa bersama masyarakat setempat.
Dengan langkah ini, kami meyakini sampah organik di kota-kota dapat berkurang. Masyarakat juga bisa memanfaatkan energinya untuk kegiatan sehari-hari, misalnya memasak.
Beraneka manfaat biogas kelurahan
Biogas adalah sumber energi ramah lingkungan diperoleh dari hasil penguraian material organik secara anaerob (tanpa oksigen) oleh mikroba. Gas ini terdiri dari gas metana, karbon dioksida, nitrogen, hitrogen sulfida, hingga uap air.
Penggunaan biogas dapat menciptakan peluang ekonomi sirkular bagi masyarakat melalui konsep waste to energy. Sampah dapur yang dahulu langsung dibuang kini dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi dan tidak menghasilkan emisi karbon.
Keuntungan lainnya, pemakaian biogas dapat mengurangi ketergantungan warga dengan gas LPG (liquified petroleum gas) yang berasal dari energi fosil dan kebanyakan pasokannya masih diimpor.
Pemakaian biogas dari sampah dapur pernah dilakukan di Kelurahan Cibangkong, Kota Bandung, pada 2011.
Upaya tersebut diinisiasi Masyarakat Sadar Lingkungan (My Darling)–sebuah komunitas independen di Kelurahan Cibangkong. Komunitas ini mengumpulkan sampah dapur yang dihasilkan oleh tiap rumah tangga. Setelah dikumpulkan, sampah akan diproses oleh alat bernama biodigester dan didistribusikan kepada beberapa rumah tangga.
Biogas sampah dapur di Kelurahan Cibangkong dijual dengan harga Rp 20.000 per bulan–jauh lebih rendah dibandingkan harga LPG ukuran 12 kg saat itu sebesar Rp 70 ribu.
Dengan harga tersebut, masyarakat bisa menghemat banyak pengeluaran. Harga biogas bahkan bisa lebih murah jika pemerintah memberlakukan program ini secara massal.
Selain biogas, proses pengolahan sampah dapur juga menghasilkan cairan sisa organik yang dapat dimanfaatkan sebagai pengganti pupuk kimia. Cairan organik itu dapat dijual sebagai pupuk sehingga menjadi peluang bisnis ramah lingkungan bagi masyarakat.
Di Kelurahan Cibangkong, pupuk cair tersebut dijual dengan harga Rp 20 ribu per liter sehingga bisa menjadi pemasukan tambahan bagi masyarakat.
Tantangan biogas kelurahan
Usaha menjalankan proyek biogas kelurahan memang belum luput dari tantangan.
Pertama adalah masalah biaya. Per 2020, pemasangan biodigester berukuran 6 meter bisa memakan biaya sebanyak Rp 11 juta. Sumber pendanaan dari pemerintah pun cukup terbatas sehingga pelaksanaannya masih membutuhkan keterlibatan swasta (biasanya melalui program tanggung jawab sosial perusahaan).
Pelaksanaan program biogas saat ini juga belum diiringi kerja sama yang baik antar lembaga. Sebagai contoh, dari tingkat pemerintah pusat, program pengembangan biogas tersebar di banyak kementerian dan tidak diiringi dengan koordinasi yang baik.
Perkara lainnya, Indonesia juga tidak memiliki rencana khusus untuk pengembangan biogas seperti Tiongkok, padahal potensi yang dimiliki sangat besar.
Pada level masyarakat, koordinasi untuk mengumpulkan sampah dapur, operasionalisasi sistem biogas, dan proses pemeliharaan menjadi tantangan tersendiri. Masyarakat juga masih menilai penggunaan biogas cukup rumit apabila dibandingkan LPG.
Sebagai contoh, Kelurahan Cihaurgeulis di Bandung sempat mendapatkan bantuan untuk pengembangan biogas, tapi hal tersebut tidak bertahan lama diakibatkan kurangnya pengetahuan warga dan bimbingan tentang sistem biogas.
Rekomendasi pemanfaatan biogas
Untuk meningkatkan pemanfaatan biogas dari sampah dapur, kami memiliki lima rekomendasi:
Pertama, pemerintah harus mengupayakan berbagai bentuk pembiayaan lain untuk mengembangkan biogas di perkotaan. Misalnya melalui pemanfaatan dana tanggung jawab sosial perusahaan ataupun pengalokasian anggaran daerah untuk pengeluaran modal (capital expenditure).
Kedua, pemerintah perlu mendampingi masyarakat mulai dari wawasan lingkungan hingga aspek teknis pemanfaatan biogas dari sampah dapur. Pemerintah Daerah dan organisasi masyarakat dapat menjadi tokoh dalam aksi pendampingan tersebut.
Ketiga, memotivasi masyarakat dalam memisahkan sampah dapur melalui program-program yang menyentuh kebiasaan masyarakat. Misalnya, warga diajak untuk melihat perjalanan sampah mereka. Bisa juga melalui penghargaan, bahkan perlombaan ‘minim sampah’ antar-RT.
Keempat, memastikan tata kelola dan petunjuk pelaksanaan yang jelas agar proyek biogas tidak mangkrak. Karena itu, pengelolaan biogas oleh perusahaan daerah, koperasi, dan organisasi Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) haruslah menjunjung prinsip tata kelola yang baik.
Terakhir, saat ini masyarakat masih menggunakan LPG karena adanya subsidi dari pemerintah. Namun, kondisi lapangan pun membuktikan bahwa subsidi LPG tidak tepat sasaran. Dalam jangka panjang, pemerintah semestinya dapat mengalihkan anggaran subsidi LPG ke pengembangan biogas khususnya di daerah yang potensial sehingga mampu meningkatkan minat masyarakat.
The opinion has been published on The Conversation.
Check the original article by clicking on this text.