Gambar 1. Febby Tumiwa mempresentasikan Laporan IESR terkait masa depan batu bara.

Pada tanggal 1 April 2019, Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) menghadiri seminar “The Global Energy Transition and The Future of Coal” (Transisi Energi Global dan Masa Depan Batu Bara) di hotel Ashley Jakarta. Institute for Essential Services Reform (IESR) menyelenggarakan mini-seminar yang membahas rencana global dalam mengurangi Greenhouse Gas (GHG) emissions atau emisi gas rumah kaca setelah tahun 2030 dan dalam mencapai net-zero emissions pada tahun 2050 serta metode yang dapat dilakukan untuk menyesuaikan bisnis batu bara dengan  kondisi saat ini.

Febby Tumiwa, yang merupakan direktur IESR, membuka seminar dengan menyampaikan laporan IESR terkait penelitian batu bara. Febby Tumiwa mengkritik peraturan pemerintah mengenai  produksi batu bara yang terus ditingkatkan serta tetap menjadikan batu bara sebagai sumber energi utama meskipun pemerintah telah menetapkan target pemanfaatan energi terbarukan untuk tahun 2025. Saat ini ekspor batu bara hanya memberikan kontribusi sebesar 4-6 persen untuk Gross Domestic Product (GDP) di Indonesia dan 2 persen untuk pendapatan nasional. Persentase tersebut akan lebih besar dalam skala regional, dimana beberapa provinsi tertentu menerima 13-45 persen untuk pendapatan daerah mereka dari industri batu bara. Selain keuntungan fiskal yang didapat dari batu bara, permintaan pasar internasional untuk ketersediaan sumber daya mineral ini masih tinggi sehingga hal tersebut memberikan tekanan yang besar terhadap Indonesia untuk tetap mengekspor batu bara. Akan tetapi, dengan adanya penurunan harga yang tajam dari energi yang dapat diperbaharui, transisi energi diprediksikan akan terjadi lebih cepat dari waktu yang telah ditetapkan, mengingat 15 tahun yang lalu pemerintah Indonesia mengundang banyak Independent Power Producers (IPP) untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga batu bara dalam memenuhi permintaan listrik yang berkembang pesat. Karena masa hidup pembangkit listrik tenaga batu bara ini sekitar 30-40 tahun, penting bagi pemerintah untuk memastikan tidak adanya aset terlantar yang tidak dimanfaatkan dalam bisnis batu bara.

Acara tersebut kemudian dilanjutkan dengan tiga diskusi panel. Diskusi panel pertama mengangkat masalah transisi energi dari sudut pandang energi, iklim, dan ekonomi. Tiga pembicara utama diundang pada diskusi tersebut. Narasumber pertama adalah Ir. Bambang Gatot Ariyono, M.M. yang merupakan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Ir. Bambang Gatot Ariyono, M.M. menyatakan bahwa pemerintah berencana untuk memberikan nilai tambah pada batu bara dengan mengubah batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) sebagai produk yang dapat menggantikan Liquid Petroleum Gases (LPG).

Selain itu, pada tahun 2046 seluruh produk batubara di Indonesia hanya akan digunakan untuk keperluan domestik saja dimana ekspor batu bara akan dilarang. Narasumber kedua adalah Hendra Sinadia yang merupakan Direktur Eksekutif Coal Producer Association Indonesia. Hendra Sinadia memberikan respon terhadap peraturan pemerintah terkait penambahan nilai pada produk batu bara. Hendra Sinadia meyakinkan pemerintah bahwa beberapa industri batu bara telah siap untuk meningkatkan nilai batu bara mereka serta telah siap untuk mengubah teknologi yang digunakan menjadi teknologi batu bara yang bersih. Lebih jauh lagi, beberapa industri batu bara telah mulai memodifikasi pendapatan mereka dengan cara melibatkan bisnis energi yang dapat diperbaharui. Narasumber yang terakhir datang dari Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dr. Ir. Ruandha Agung Sugardiman. Saat ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan masih mengatur roadmap untuk mengurangi emisi di lima sektor yang diprioritaskan. Namun industri mineral dan batu bara belum dianggap sebagai bagian dari kontributor nasional atau Nationally Determined Contribution (NDC).

Diskusi panel kedua diikuti oleh empat negara, yakni Jerman, Cina, India, dan Afrika Selatan. Ursula Fuentes yang mewakili Jerman mengungkapkan perbedaan kenaikan suhu global yang signifikan, sebesar 0.5°C. Target peningkatan suhu global berubah dari 2°C menjadi 1.5°C  selama panel antarpemerintah mengenai perubahan iklim, atau the Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). Ursula Fuentes menyatakan bahwa kondisi secara global terkait penurunan suhu masih berjalan sesuai dengan rencana. Greenhouse Gases (GHG) atau gas rumah kaca terus meningkat dan masih belum akan mendekati puncak dalam waktu dekat. Batu bara selalu menjadi salah satu sumber yang dianggap sebagai pemicu berkembangnya GHG ini. Namun bagaimanapun juga, program coal phase-out (pengurangan penggunaan batu bara) yang diterapkan di Jerman saat ini harus dianalisis ulang dengan lebih hati-hati di Indonesia untuk menghindari ditelantarkannya aset-aset dan menghindari efek dampak berganda (multiplier effects) yang negatif dari industri batu bara.

Cina diwakili oleh Alvin Lin yang dengan bangga mengklaim bahwa Cina telah berhasil mencapai puncak penggunaan batu bara dan telah siap untuk menurunkan konsumsi batu bara. Ada beberapa aspek yang menyebabkan Cina telah meraih puncak konsumsi batu bara, yakni (1) turunnya pertumbuhan GDP; (2) semakin sedikitnya infrastruktur yang harus dibangun; dan (3) teknologi tingkat tinggi yang menggunakan energi secara lebih efisien. Kondisi yang berbeda terjadi di India, seperti yang dinyatakan oleh Thomas Spencer. India dikategorikan sebagai negara berkembang yang masih terus melakukan pembangunan berskala besar. Hal tersebut memiliki arti bahwa India mengkonsumsi energi lebih tinggi dengan efisiensi energi yang rendah. Selain itu, impor energi menjadi salah satu kewajiban di India yang mengambil 4-5 persen dari GDP di negara tersebut. Meskipun demikian, target pertumbuhan energi yang dapat diperbaharui di India merupakan salah satu yang tercepat di dunia dan puncak dari permintaan batu bara diprediksikan akan terjadi sebelum tahun 2030. Negara penghasil batu bara lain yang berpartisipasi dalam seminar ini adalah Afrika Selatan, yang diwakili oleh Bryce McCall. Batu bara merupakan sumber penghasilan asing ketiga terbesar di Afrika Selatan sejak lama, namun situasi ekonomi dan politik saat ini mungkin memberikan dampak yang besar pada bisnis batu bara di negara tersebut. Afrika Selatan memiliki tingkat pertumbuhan yang rendah yang mengakibatkan tingkat pertumbuhan dari permintaan listrik yang mendatar. Kondisi tersebut diperburuk dengan kondisi politik yang tidak stabil yang menyebabkan tenaga kerja yang terampil dan berpengalaman digantikan oleh tenaga kerja yang tidak berpengalaman dan tidak adanya transfer keterampilan yang memadai. Kondisi ini membuat harga listrik tenaga batubara berkisar di sekitar USD 1/kWh, atau hampir sepertiga harga rata-rata listrik tenaga batu bara di dunia. Di sisi lain, harga energi terbarukan semakin rendah dan akan segera melampaui harga batu bara di Afrika Selatan. Bryce McCall percaya akan adanya penurunan penggunaan batu bara (coal phase-out) di Afrika Selatan, bukan karena kebijakan terkait yang diterapkan, akan tetapi akibat dari kompetisi harga di

Berita sebelumyaForum Guru Besar Institut Teknologi Bandung: Perkembangan Industri Batu Bara di Indonesia
Artikulli tjetërKolaborasi antara The Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) dan ClimateWorks

BERIKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini