Photo by Megan Thomas on Unsplash

By: Nadira Asrifa, Massita Ayu Cindy

Pembangunan energi di daerah sering terabaikan, padahal jadi penentu pencapaian dan target transisi energi nasional.

Di tengah komitmen pemerintah terhadap perjanjian internasional dan target bauran energi nasional, perkembangan transisi energi di tingkat daerah sering terabaikan, bahkan cenderung tertinggal. Padahal target pembangunan energi di daerah menjadi kunci dalam mencapai target energi bauran nasional Indonesia dan upaya transisi energi nasional.

Mengawali tahun 2024 ini, kami bertemu dan berdiskusi dengan beberapa perwakilan dinas energi dan sumber daya mineral (ESDM) dari 16 provinsi. Tentu, kami banyak menemukan isu yang dapat menjadi bahan rekomendasi kepada pemerintahan tingkat nasional dan tentu saja menjadi pengingat bersama. Pembangunan energi di daerah akan menjadi penentu pencapaian dan target nasional dalam transisi energi.

Hingga 2024, sebanyak 33 dari 38 provinsi di Indonesia telah memiliki Rencana Umum Energi Daerah (RUED). Bahkan beberapa daerah cukup bersemangat untuk menetapkan target bauran energi di atas target nasional (23 persen).

Menariknya, meskipun telah memiliki RUED dan target, tidak semua daerah optimistis dan mengerti bagaimana strategi penerapannya. Secara umum, di lingkungan pegawai dinas ESDM sudah mengenal dan memahami program transisi energi nasional. Sayangnya, mereka menghadapi hambatan dalam implementasinya. Kondisi ini seperti salah satu pernyataan ekonom senior Indonesia, Chatib Basri. ”Mereka memahami apa yang perlu dilakukan, tetapi kesulitan dalam cara pelaksanaan kebijakan tersebut.”

Isu yang kami temui dimulai dari wewenang daerah, kelembagaan, aktor, hingga infrastruktur dan anggaran. Membahas pembangunan daerah, alangkah baiknya melakukan flashback sedikit terhadap pembagian wewenang dan pengurusan daerah. Otonomi daerah telah diterapkan sejak 2001, termasuk juga dalam wewenang mendukung transisi energi.

Kewenangan tersebut diejawantahkan ke dalam Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penambahan Wewenang Pemerintah Daerah di Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral di Sektor Energi Baru dan Terbarukan. Namun, dengan adanya wewenang baru ini, belum sepenuhnya membantu upaya transisi energi di daerah.

Peraturan tersebut memperluas wewenang, tetapi tidak dibekali peraturan turunan teknis dan penambahan penganggaran. Tentu, implikasinya adalah akan memberatkan ruang fiskal di daerah. Selain itu, terkait wewenang pengawasan dan perizinan, beberapa industri yang ada di daerah justru telah memiliki izin di bawah pemerintah pusat sehingga pemda tidak memiliki wewenang melakukan fungsi pengawasan efisiensi energi pada industri yang beroperasi di wilayahnya.

Kedua, isu pembangunan tentu tidak terlepas dari isu kelembagaan. Sama halnya dengan transisi energi. Kelembagaan memengaruhi progres pembangunan energi di daerah. Seperti, beberapa dinas ESDM digabungkan dengan dinas teknis lainnya seperti perdagangan, perindustrian, tenaga kerja, dan transmigrasi.

Kondisi ini ditemui seperti di Provinsi Kalimantan Barat, DKI Jakarta, DI Yogyakarta. Akibatnya adalah pembagian pagu anggaran, kegiatan prioritas, dan juga sumber daya manusia di dalamnya. Ditambah lagi dengan tidak semua dinas energi dan sumber daya mineral memiliki bidang untuk energi terbarukan dan struktur fungsional khusus untuk efisiensi dan konversi energi.

Selanjutnya, kendala institusional lainnya muncul dari perusahaan listrik milik negara, yang memiliki kebijakan dan regulasi sendiri di daerah yang tidak sejalan dengan program pemerintah lokal tentang energi terbarukan. Misalnya, PLN juga memiliki program mengaliri listrik di desa-desa, sementara pemda bersama masyarakat juga telah menginisiasi pembuatan pembangkit listrik tenaga mikrohidro.

Isu ketiga, aktor dalam perencanaan dan implementasi kebijakan. Kemampuan dan figur aktor (kepala daerah) turut memengaruhi dalam pengambilan keputusan prioritas program, anggaran hingga arah administrasi perencanaan. Meskipun, tidak bisa diabaikan para aktor ini juga dipengaruhi oleh struktur ekonomi sosial, masyarakat, dan kepentingan politik.

Misalnya, program pengembangan energi terbarukan lebih maju di provinsi yang kepala daerahnya memahami tentang energi terbarukan dan struktur ekonominya adalah pariwisata. Sebaliknya, daerah yang didominasi oleh perusahaan industri dan pertambangan, agak lebih sulit untuk mengejar target bauran energi dan merumuskan peraturan turunan daerah di daerah yang dipimpinnya.

Program pengembangan energi terbarukan lebih maju di provinsi yang kepala daerahnya memahami energi terbarukan dan struktur ekonominya adalah pariwisata.

Keempat, tidak hanya di tingkat nasional, isu penganggaran juga dihadapi oleh pemda. Seperti yang disebutkan sebelumnya, prioritas pembangunan memengaruhi alokasi anggaran daerah. Karena kompleksnya permasalahan pembangunan ekonomi di daerah, prioritas pembangunan daerah biasanya berfokus tinggi pada fasilitas kesehatan, pengentasan kemiskinan, dan penyelenggaraan pendidikan, hanya beberapa provinsi yang sudah lebih ”lapang” untuk mengalokasikan lebih banyak dana untuk transisi energi.

Beberapa dana berasal dari sektor swasta dan organisasi non-pemerintah untuk pengembangan infrastruktur. Namun, anggaran seharusnya tidak boleh terbatas hanya pada pengadaan, tetapi juga harus mencakup biaya sumber daya manusia pendukung dan biaya pemeliharaan untuk instalasi energi terbarukan.

Kelima, berkaitan dengan geografis Indonesia, kurangnya infrastruktur menjadi salah satu kendala utama dalam pengembangan dan akses. Keterbatasan ini dapat memengaruhi minat investor dalam mendanai proyek lokal. Pihak swasta sering kali dihadapkan pada area yang sulit dijangkau ataupun minimnya akses.

Akibatnya, ketidaksetaraan spasial dalam akses listrik semakin parah. Selain itu, banyak wilayah lokal yang termasuk ke dalam wilayah hutan lindung dan hutan konservasi, yang tentu saja memerlukan perizinan dengan berbagai pemangku kepentingan lainnya. Serta, masalah seperti kenaikan harga tanah dan konflik atas kepemilikan tanah antara pemerintah dan komunitas adat juga menghalangi akses pembangunan energi terbarukan.

 

Pembangkit listrik tenaga angin dengan 20 kincir terpasang di Desa Kalihi, Kecamatan Kahaung Eti, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Selasa (25/10). Energi listrik yang dihasilkan, digunakan untuk memenuhi kebutuhan sekitar 20 rumah yang tidak terjangkau akses listrik PLN.
Kompas/A Handoko

Perlu keterlibatan aktif

Transisi energi di Indonesia berkembang secara dinamis dan melibatkan multi stakeholders. Isu-isu tersebut sering kali menghambat perkembangan transisi energi di wilayah tersebut. Benar adanya, pencapaian tujuan transisi energi memerlukan lebih dari sekadar arahan dari pemerintah pusat, hal ini memerlukan keterlibatan aktif dari semua tingkatan pemerintahan.

Pemerintah pusat harus membentuk regulasi turunan untuk mendorong inisiatif lokal dan memfasilitasi inisiatif pemerintah daerah yang lebih luas dengan mempengaruhi transformasi sistem energi dari bawah ke atas (bottom up). Bahkan pendekatan informal yang muncul melibatkan jaringan pemimpin atau akademisi.

Tidak semua kepala daerah memiliki perhatian dan memahami peraturan-peraturan menteri hingga presiden terkait transisi energi.

Sebagaimana otonomi daerah untuk sektor energi telah ”diperluas”, pemerintah pusat juga harus mendampingi dengan mekanisme akuntabilitas yang jelas dan peningkatan kapasitas teknis dan anggaran. Selain itu, reformasi di Perusahaan Listrik Negara penting untuk mendorong keterlibatan perusahaan energi swasta, komunitas lokal, dan pemangku kepentingan lainnya untuk mempromosikan inisiatif lokal dalam transisi energi.

Kemudian, menekankan pemimpin daerah sebagai penggerak utama dalam pembangunan energi di daerah. Kepemimpinan yang kuat dapat memfasilitasi kemajuan transisi energi. Penting untuk diakui bahwa perubahan kepemimpinan dalam administrasi dapat menyebabkan pergeseran dalam prioritas dan kebijakan. Hal ini serupa dengan beberapa daerah yang mengemukakan tidak semua kepala daerah memiliki perhatian dan memahami peraturan-peraturan menteri hingga presiden terkait transisi energi.

Alih-alih mendorong reformasi kebijakan berupa peraturan yang cenderung lebih ”mahal” (transaction cost). Kita dapat menggunakan success story untuk menggaet ketertarikan politisi (khususnya anggota legislatif) dan masyarakat pada transisi energi. Praktik ini telah diterapkan beberapa provinsi dengan program transisi energi pada elektrifikasi, pembangunan pembangkit energi terbarukan, dan menerapkan program khusus tentang energi terbarukan.

Sebagai contoh, sebuah provinsi di Kalimantan berhasil mengembangkan elektrifikasi di daerah terpencil menggunakan pembangkit listrik tenaga surya. Kemudian keberhasilan ini menarik perhatian legislator dan mendorong mereka meningkatkan alokasi APBD untuk energi terbarukan.

Selanjutnya, keterbatasan anggaran dan kapasitas sumber daya manusia diharapkan dapat diatasi dengan membuka kolaborasi dengan sektor swasta dan organisasi nonpemerintah. Pemerintah diharapkan mampu memanfaatkan keahlian untuk menghasilkan inovasi guna mempercepat transisi.

Alokasi dana juga dapat dimaksimalkan dengan dorongan dari pemerintah pusat untuk menggunakan Dana Bagi Hasil Daerah (DBH Migas) dan Dana Desa untuk pengembangan energi terbarukan. Tentu penggunaan dana ini perlu diberikan keleluasaan dan mekanisme yang transparan.

The opinion has been published on Kompas.
Check the original article by clicking on this text.

Previous articleThe Trophy of Purnomo Yusgiantoro at the AAJI’s Alumni Friendship Golf Tournament 2024.
Next articleField Study on Indonesia’s Energy Sector Reformation to Support Energy Transition in West Kalimantan #Day1

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here